Minggu, 27 Februari 2011

PEREKONOMIAN INDONESIA

PEREKONOMIAN INDONESIA
SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA
ORDE BARU

Pada masa Orde Baru Pemerintah merencanakan pembangunan repelita atau yang bisa disebut “Pembangunan Lima Tahun”. Tetapi sebelum rencana itu dilakukan pemerintah ingin terlebih dahulu melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, social, dan politik, serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi deficit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa orde lama. Usaha pemerintah dalam penyusunan rencana repelita secara bertahap dengan target – target yang jelas sangat dihargai oleh Negara – Negara Barat.
Pada awalnya pemerintah memusatkan pembangunan hanya di sector – sector tertentu yang secara potensial dapat menyumbangkan nilai tambah yang besar dalam waktu yang tidak panjang dan hanya di Pulau Jawa karena pada saat itu fasilitas – fasilitas infrastruktur dan sumber daya manusia relative lebih baikdibandingkan di provinsi – provinsi lainnya di luar Pulau Jawa. Dengan sumber dana yang terbatas pada saat itu dirasa sangat sulit untuk memerhatikan pertumbuhan dan pemerataan pada waktu yang bersamaan.
Tujuan utama repelita I adalah untuk membuat Indonesia menjadi swasembada terutama dalam kebutuhan beras. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah melakukan program penghijauan di sector pertanian. Dengan dimulainya program penghijauan tersebut sector pertanian nasional memasuki era modernisasi dengan penerapan teknologi baru, khususnya dalam pengadaan dalam system irigasi, pupuk, dan tata cara menanam.
Dan pada bulan April 1969 repelita I dimulai dan dampaknya juga dari repelita – repelita berikutnya selama orde baru terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan terutama dilihat pada tingkat makro. Keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia pada zaman Soeharto tidak saja disebabkan oleh kemampuan cabinet yang lebih baik atau solid tetapi juga berkat tiga hal yaitu :
·         Penghasilan ekspor yang sangat besar dari minyak
·         Pinjaman luar negeri
·         PMA
Dapat dikatakan bahwa kebijakan Soeharto yang mengutamakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada system ekonomi liberal dan juga stabilitas politik yang pro barat. Akan tetapi, pada tingkat meso dan mikro, hasil pembangunan selama masa itu dapat dikatakan tidak terlalu memukau seperti pada tingkat makro. Pada era orde baru terdapat konsep politik “Trilogi Pembangunan” yaitu :
  • ·         Stabilitas nasional yang mantap dan dinamis dalam bidang politik dan ekonomi.
  • ·         Pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
  • ·         Pemerataan pembangunan.

Tetapi dalam repelita VI orientasi kebijakan – kebijakannya mengalami perubahan dari penekan hanya pada pertumbuhan ke pertumbuhan dengan pemerataan. Sebagai suatu rangkuman, sejak masa orde lama hingga berakhirnya masa orde baru dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami dua orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda yakni dari ekonomi tertutup yang berorientasi kapitalis pada zaman rezim Soekarno ke ekonomi terbuka berorientasi kapitalis pada masa pemerintahan Soeharto. Pengalaman ini menunjukkan bahwa ada beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik, yaitu :
  • ·         Kemauan politik yang kuat.
  • ·         Stabilitas politik dan ekonomi.
  • ·         Sumber daya manusia yang lebih baik.
  • ·         System politik dan ekonomi terbuka berorientasi ke Barat.
  • ·         Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik.

Kebijakan – kebijakan ekonomi selama masa orde baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan biaya ekonomi yang tinggi dan fundamental ekonomi yang rapuh.
Awal dari krisis keuangan Asia dimulai dari krisis keuangan di Thailand sehingga merembet ke beberapa Negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Karena krisis keuangan tersebut pada bulan Maret 1998 nilai rupiah di Indonesia mencapai Rp 10.550 untuk satu dolar AS walaupun sebelumnya antara bulan Januari – Februari sempat menembus Rp 11.000 rupiah per dolar AS. Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional.
Pada awalnya pemerintah berusaha menangani masalah krisis ini dengan kekuatan sendiri akan tetapi setelah menyadari merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar tidak dapat dibendung lagi maka Pemerintahan Indonesia meminta bantuan keuangan kepada IMF seperti yang dilakukan oleh Negara Thailand, Filipina, dan Korea Selatan.  Kepercayaan masyarakat di dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi Indonesia yang pada waktu itu terus merosot membuat kesepakatan itu harus ditegaskan dalam sebuah nota kesepakatan yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan IMF. Dalam nota tersebut terdapat 50 butir kebijasanaan mencakup ekonomi makro, restrukturisasi sector keuangan dan reformasi structural.
Akan tetapi pemerintah Indonesia tidak melakukan reformasi sesuai kesepakatannya itu dengan IMF. Padahal Indonesia tidak ada jalan lain selain harus bekerja sama sepenuhnya dengan IMF, terutama karena dua hal yaitu :
·         Krisis ekonomi di Indonesia sebenarnya sudah menjelma menjadi krisis kepercayaan.
·         Indonesia sangat membutuhkan dolar AS.
Setelah gagal dalam pelaksanaan kesepakatan pertama itu, dilakukan lagi perundingan baru antara pemerintah Indonesia dan IMF. Perundingan itu dituangkan secara lengkap dalam satu dokumen bernama “Momerandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan”. Secara keseluruhan ada lima momerandum tambahan dalam kesepakatan ini yaitu :
  • ·         Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah hiperinflasi.
  • ·         Restrukturisasi perbankan, dengan tujuan utama untuk rangka penyehatan system perbankan nasional.
  • ·         Reformasi structural, yang mana disepakati agenda baru yang mencakup upaya – upaya dan sasaran yang telah disepakati dalam kesepakatan pertama.
  • ·         Penyelesaian ULN swasta.
  • ·         Bantuan untuk rakyat kecil.

Krisis rupiah yang menjelma menjadi suatu krisis ekonomi, akhirnya juga memunculkan suatu krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka tahun 1945. Krisis politik diawali dengan penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti oleh tentara pada tanggal 13 Mei 1998, yang sekarang kita kenal dengan Tragedi Trisakti. Kemudian pada tanggal 14 dan 15 Mei Jakarta dilanda suatu kerusuhan yang juga dapat dikatakan paling besar dan paling sadis yang pernah dialami Indonesia. Menjelang minggu terakhir bulan Mei DPR pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dikuasai oleh ribuan mahasiswa dan mahasiswi dari puluhan perguruan tinggi dari Jakarta dan luar Jakarta. Puncak dari itu lengserlah Presiden Soeharto dan digantikan oleh wakilnya yaitu Dr. Habibie. Dan pada tanggal 23 Mei 1998 Presiden Habibie membentuk cabinet baru, awal terbentuknya pemerintahan transisi.
Pada awalnya pemerintahan Habibie adalah pemerintahan reformasi, akan tetapi karena selama setahun berlalu tidak ada perubahan yang nyata dan tetap sama dengan pemerintahan sebelumnya bahkan korupsi, kolusi bahkan nepotisme makin menjadi – jadi dan permasalahan pemerintahan Soeharto tidak terselesaikan. Dan akhirnya banyak kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya pemerintahan transisi dari pada pemerintahan reformasi.
Setelah lengsernya pemerintahan Habibie, digantikanlah dengan pemerintahan Abdurrahman Wahid atau yang terkenal dengan nama Gus Dur. Pada awal pemerintahan Gus Dur banyak kalangan yang menaruh harapan kepada kemampuan Gus Dur untuk memulihkan perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri. Dalam hal ekonomi dibandingkan tahun sebelumnya mengalami perbaikkan. Akan tetapi ketenangan masyarakat setelah Gus Dur terpilih sebagai presiden tidaklah lama. Gus Dur cenderung bersikap dictator dan praktik KKN di lingkungannya semakin intensif. 
Masalah ini menimbulkan perseteruan dengan DPR yang klimaksnya adalah dikeluarkannya peringatan resmi kepada Gus Dur lewat Momerandum I dan II. Gus Dur pun terancam akan diturunkan jabatannya sebagai presiden jika usulan percepatan sidang istimewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Karena dari itu praktis tidak ada satupun masalah didalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik selama pemerintahan Gus Dur, bahkan Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru, jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.      
Pemerintah Gus Dur  pun cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU BI, masalah desentralisasi fiscal, masalah restrukturisasi utang, dan masalah divestasi BCA dan Bank Niaga. Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indicator ekonomi, yaitu :
·         Pergerakan indeks harga saham gabungan antara 30 Maret hinggs 8 Maret 2001 menunjukkan tren pertumbuhan ekonomi yang negative.
·         Pegerakan nilai tukar rupiah tukar rupiah terhadap dolar AS.
Karena kedua indicator inilah menyebabkan ketidakrnudahannya kepercayaan pelaku bisnis terhadap kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid. Pada tanggal 12 Maret 2001 ketika para demonstran menuntut turunnya Presiden Gus Dur , nilai tukar rupiah semakin merosot , bahkan pada bulan April 2001 sempat menyentuh RP 12.000 per dolar AS, dan inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI, berdampak negative pada roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis ke dua yang dampaknya terhadap ekonomi, social, politik akan jauh lebih besar dari pada krisis pertama. Dampak negative ini dikarenakan dua hal :
·         Perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor.
·         ULN Indonesia dalam nilai dolar AS, baik dari sector swasta maupun pemerintah sangat besar.
Setelah Presiden Gus Dur turun,Megawati menjadi Presiden ke lima Indonesia. Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan Gus Dur. Keterpurukan kondisi ekonomi yang ditinggalkan Gus Dur kian terasa jika dilihat dari perkembangan indicator ekonomi lainnya, seperti tingkat suku bunga, inflasi, saldo neraca pembayaran, dan deficit APBN. Namun demikian, dalam era Megawati kinerja ekonomi Indonesia menunjukkan perbaikan, paling tidak dilihat dari laju pertumbuhan PDB.
Setelah kepemimpinan Megawati selesai, Dilanjutkanlah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono atau yang biasa kita sebut SBY. Pada bulan pertama pemerintahan SBY, rakyat Indonesia, pelaku usaha luar dan dalam negri maupun Negara – Negara donor serta lembaga – lembaga dunia, seperti IMF, Bank Dunia dan ADB, sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun kedepan akan lebih baik dibandingkan dengan masa pemerintahan – pemerintahan sebelumnya sejak Soeharto lengser. Namun, pada pertengahan kedua tahun 2005 ekonomi Indonesia diguncang oleh dua peristiwa yang tak terduga sama sekali, yaitu :
·         Naiknya harga minyak mentah dipasar internasional.
·         Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Dua hal ini yang membuat realisasi pertumbuhan PDB tahun 2005 jauh lebih rendah, dan ini juga merupakan tantangan berat bagi Presiden SBY karena jika tidak ditangani secara cepat maka pengaruh negatifnya akan sangat besar terhadap perkonomian nasional dan juga terhadap kehidupan masyarakat, terutama bagi kelompok miskin. Kenaikkan harga minyak ini menimbulkan tekanan yang sangat berat terhadap keuangan pemerintah. Akibatnya, pemerintah terpaksa mengeluarkan suatu kebijakkan yang sangat tidak populis, yakni mengurangi subsidi BBM yang membuat harga BBM dipasar dalam negeri meningkat tajam. Karena kenaikkan harga tersebut diperkerikkan hal ini akan sangat berdampak negative terhadap kegiatan ekonomi domestic, terutama pada periode jangka pendek karena biaya produksi meningkat. Kenaikkan harga BBM di pasar dunia jelas akan membuat deficit APBN tambah besar karena ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM semakin besar. Harga BBM yang tinggi juga akan mendorong inflasi di dalam negeri. Semua ini akan berpengaruh negative terhadap kesempatan kerja atau akan meningkatkan pengangguran dan juga kemiskinan. Peningkatan kemiskinan juga akan memperburuk pertumbuhan ekonomi lewat efek permintaan, yakni permintaan di dalam negeri berkurang.
Seperti pada masa pemerintahan – pemerintahan sebelumnya, pemerintah SBY juga berusaha menahan tingkat inflasi serendah mungkin atau paling tidak tetap dalam 1 digit. Menjelang akhir masa jabatan SBY yang akan berakhir tahun 2009, perekonomian Indonesia menghadapi dua goncangan eksternal, yaitu :
·         Harga BBM yang terus naik.
·         Kenaikkan harga pangan di pasar global.

TERSUMBER DARI : BUKU KARYA "TULUS TAMBUNAN" 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar