Pembangunan merupakan upaya untuk mengubah kehidupan masyarakat suatu Negara menjadi lebih baik,tetapi adakalanya suatu Negara terkadang tidak mempunyai dana yang cukup untuk membiayai pembangunan tersebut. Oleh karena itu di dalam teori pembangunan dikenal konsep pembangunan berbasis Hutang Luar Negri. Konsep ini telah dilakukan oleh Negara Inggris sewaktu mengalami kekalahan perang. Negara Inggris yang dibantu oleh Amerika Serikat untuk membangun kembali kebangkrutan karena perang berhasil memakai konsep pembangunan berbasis Hutang Luar Negri tersebut, dan membuat kehidupan masyarakatnya menjadi setaraf lebih baik. Karena keberhasilannya itu maka negara - negara yang kalah perang di Negara Eropa mengikuti model konsep yang dilakukan oleh Inggris. Dan konsep ini juga menjadi rujukan kepada negara - negara Asia lainnya. Negara-negara yang secara ekonomi berhasil seperti Inggris, Belanda, Perancis, Jepang, Kanada, Amerika Serikat dan sebagainya lalu membentuk organisasi donor untuk negara-negara yang tergolong dunia ketiga, termasuk Negara Indonesia.
Belanda lalu membentuk IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia) yang menghimpun dana dari semua dana pendonor untuk membantu pembangunan di Indonesia. Skema ini tampaknya di awal akan berhasil. Sebab pembangunan yang selama ini tidak bisa dilakukan ternyata bisa dilaksanakan. Pemerintah pun kemudian merumuskan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dijadikan sebagai pedoman untuk membangun Indonesia. Secara konseptual, skema pembangunan yang tertuang di dalam GBHN tentulah sangat baik. Hal ini dapat dipahami sebab yang merumuskan adalah para pakar pembangunan dalam disiplin ilmu yang sangat mencukupi. Di lima tahun awal pembangunan, tampaknya skema hutang luar negeri ini akan berhasil. Banyak infrastruktur ekonomi dibangun. Prasarana jalan, pasar, industri, infrastruktur pertanian, perkebunan, tambang dan sebagainya dilakukan dengan sangat getol. Makanya, terjadilah peningkatan pertumbuhan ekonomi yang cukup memadai. Dengan demikian, skema hutang luar negeri dalam proses pembangunan sepertinya berada di jalur yang benar atau on the right track. Tetapi kesuksesan itu tidak berlangsung lama karena adanya tindakan korupsi yang tidak tertanggung jawabkan. Ternyata banyak dana anggaran dari dana luar negri yang dikorupsikan. Akibatnya proyek yang seharusnya menyejeterahkan rakyat malah hanya dapat menyejeterahkan individu - individu yang tidak bertanggung jawab tersebut. Karena kejadian ini Pemerintah Indonesia harus mengevaluasi kebijakan pembangunannya lagi.
Selain itu setelah peperangan selesai dan ketika Soekarno digulingkan oleh Soeharto pada tahun 1965, negara-negara barat pun langsung bereaksi dengan memberikan bantuan lagi dalam bentuk “Aid” untuk membantu pemulihan ekonomi. Kemudian diikuti dengan 534 juta dollar dalam bentuk utang, dengan rencana bahwa akan dibayar bersama bunganya setahun kemudian.Sebuah perhitungan yang tidak dapat terealisasikan. Yang terjadi, utang Indonesia, justru meningkat terus dari tahun ke tahun. Misalnya pada tahun 1970, utang luar negeri Indonesia adalah 3.7 miliar USD, dan pada tahun 2002, utang luar negeri US melonjak sampai 78.9 milliar USD.Pada tahun 1979, terjadi perubahan kebijakan finansial di Washington, dimana Paul Volcker, kepada Federal Reserve menaikkan tingkat bunga untuk mengatasi inflasi di U.S. Meskipun diakui bahwa Ia tidak berniat untuk membawa negara-negara peminjam ke dalam krisis utang, tetapi keputusan ini membawa malapetaka bagi negara-negara peminjam. Dampak lain dari kebijakan Washington adalah jatuhnya bahan-bahan komoditas di pasaran pada tahun 1980-an. Jatuhnya harga barang-barang eksport ini menurunkan daya negara-negara peminjam untuk membayar utang.
Dengan keadaan global tersebut, negara-negara dunia ketiga kemudian terjerumus ke dalam sebuah krisis utang yang terus berlanjut hingga sekarang, dan terus menguras negara-negara dunia ketiga. Sebagai reaksi terhadap krisis ini, pada tahun 1985, Secretary of the Treasury Amerika Serikat, James Baker menginisiasi sebuah kebijakan baru, yaitu Structural Adjustment Program (SAP). Kebijakan ini berbasiskan apa yang disebut dengan Washington Consensus. Berdasarkan kebijakan baru ini, Negara-negara yang ingin mendapatkan utang dari IMF dan Bank Dunia harus berkomitmen untuk melakukan re-strukturisasi atau perubahan dalam kebijakan ekonomi makro mereka, yang berarah pada ekonomi yang berorientasi ekspor (export-led growth), mengurangi peranan Negara dalam ekonomi, dan privatisasi sector-sektor publik.Kepercayaan yang melandasi kebijakan ini adalah bahwa “peranan Negara dalam ekonomi harus dikurangi, dan keterbukaan ekonomi untuk dunia luar adalah komponen penting dari konsensus neo-liberal; pemerintah harus mengurangi atau menghapus semua aturan, privatasisi terhadap perusahaan-perusahaan Negara atau publik dan beralih dari Industrialisasi Subtitusi Impor menuju ke strategi yang berorientasi kepada ekspor.” Dalam konteks yang lebih luas, mengharuskan Pemerintah Negara-negara yang memperoleh utang untuk mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mengontrol inflasi melakukan liberalisasi terhadap impor dan menghapus semua hambatan-hambatan bagi investasi asing; privatisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik Negara mengurangi nilai mata uang dan mengurangi atau menghapus semua peraturan yang melindungi buruh lokal.
Hingga akhir tahun 1970-an, sekitar 70 negara berkembang yang telah mengikuti nasehat Bank Dunia dan IMF. Seperti yang diakui oleh Bello, selain untuk membayar kembali utang luar negeri kepada Negara-negara utara, menghancurkan system ekonomi yang berbasiskan pada peran Negara, juga adalah tujuan strategis dari doktrin ini.Program restrukturisasi ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap hubungan antara Negara-negara berkembang dan Negara-negara industry maju. Program ini dirancang khusus untuk tujuan spesifik diantaranya untuk memastikan bahwa negara-negara peminjam akan mengembalikan utang untuk meningkatkan aliran barang dari Selatan ke Utara dan meningkatkan kontrol terhadap pasar di negara-negara Selatan untuk produk-produk dari Utara.Secara singkat, Pablo Davalos menguraikan program Structural Adjustment sebagai “sebuah proses global yang mendefinisikan kekuasaan geopolitis dan pre-eminence capital keuangan” dimana bertujuan untuk memastikan control, dominasi kepemilikan dan penggunaan sumber daya alam dan persedian buruh.” Dalam konteks hubugan antara Negara-negara Utara dan Selatan, utang luar negeri juga secara terus menerus memperlebar jurang antara Utara dan Selatan. Contohnya, hingga sekarang, 5% penduduk dunia menguasai 80% sumber ekonomi global sementara yang menyisakan 20% sumber daya ekonomi untuk 95% penduduk dunia. Dengan pengalaman global tersebut, pada saat ini banyak kalangan yang sudah mulai melakukan kampanye global untuk membatalkan semua proses pembayaran kembali terhadap utang luar negeri oleh negara-negara Selatan.
Dan Program Bantuan Luar Negri melalui Skema Hutang Luar Negri tersebut sudah menjerat tidak hanya Negara Indonesia tetapi juga beberapa Negara Berkembang lainnya, dan dampak bagi Negara Indonesia adalah tidak dapat mandiri untuk membiayai pembangunan sendiri. Hingga sekarangpun kita masih tergantung oleh Hutang Luar Negri untuk pembiayaan - pembiayaan Pembangunan. Dan juga dikarenakan APBN Negara ini defisit dimana Penerimaan Negara lebih kecil dibanding Belanja Negara.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa Kebijakan Pembangunan Nasional dan Sektoral selalu berkaitan dengan Kebijakan Utang Luar Negri, itu disebabkan karena setiap pembangunan yang terjadi pastinya membutuhkan dana tambahan dari Luar Negri atau dana pinjaman dari Luar Negri dengan melakukan Kerjasama antar Negara, dan contoh Negara yang paling sering Bekerjasama dengan Indonesia adalah Negara Jepang.
Rekomendasi dari :
- http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=1230
- http://www.dmo.or.id/dmodata/5Statistik/1Posisi_Utang/1Posisi_Utang_LN/Buku_Saku_perkembangan_Utang_Negara_edisi_Okt_2010.pdf
- http://www.laohamutuk.org/econ/debt/09DebeGute.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar